Shunsaku Sagami, Miliarder Baru Jepang dengan Kekayaan Luar Biasa mencapai Rp14,6 Triliun

Sosok Shunsaku Sagami menjadi salah satu orang terkaya baru di Jepang berkat bisnisnya yang memanfaatkan artificial intelligence.

Pria berusia 32 tahun itu merupakan pendiri dan CEO dari M&A Research Institute Holdings, sebuah perusahaan pialang penggabungan dan akuisisi.

Saham perusahaan tersebut melonjak dan naik lebih dari 340 persen sejak penawarannya pada Juni tahun lalu. Sekitar 73 persen dari saham perusahaan tersebut adalah miliknya, yang sekarang bernilai sedikit lebih dari US$1 miliar setara Rp14,6 triliun (asumsi kurs Rp14.689 per dolar AS).

Perusahaan Sagami sebetulnya masih terbilang baru. M&A Research Institute didirikan pada 2018 dengan menggunakan kecerdasan buatan untuk mencocokkan calon pembeli dengan perusahaan yang umumnya menghadapi risiko penutupan meskipun menguntungkan, karena pemiliknya sudah tua dan tidak dapat menemukan penerus.

Baca Juga:   Penjualan Kendaraan Listrik Terus Melesat, Jepang Kalah Bersaing dengan China dan Eropa

Sejauh ini, belum banyak yang menceritakan soal latar belakang Sagami khususnya masa kecil hingga remajanya.

Hanya saja, bisnis Sagami yang membawanya sebagai miliarder baru di Jepang ini berawal dari pengalamannya saat bekerja di bidang periklanan.

Pada 2015, ia mendirikan perusahaan media fashion bernama Alpaca yang kemudian diakuisisi oleh perusahaan agensi hubungan masyarakat terdaftar di Tokyo bernama Vector, dan kemudian diubah namanya menjadi Smart Media.

Saat itu, Sagami berusia awal dua puluhan dan terus bekerja di perusahaan tersebut serta membantu dalam melakukan akuisisi lebih lanjut. Selama bekerja di sana, ia melihat adanya ketidakefisienan dalam proses pembuatan kesepakatan.

Baca Juga:   Macho Bar di Jepang, Pengalaman Unik Makan dengan Pelayan Lelaki Kekar dan Berotot

Tak hanya itu, Sagami sendiri juga menyaksikan bisnis kakeknya terpaksa ditutup karena tidak ada penerus yang dapat menjalankannya.

Berbekal pengalaman tersebut, Sagami akhirnya mendirikan M&A Research Institute untuk membantu melestarikan perusahaan kecil dan menengah (UKM) di Jepang. Apalagi, lebih dari 99 persen dari semua perusahaan di Jepang adalah UKM, di mana sekitar dua pertiga di antaranya tidak memiliki penerus.

Mengutip Forbes, perusahaan Sagami telah mahir dalam menyelesaikan transaksi dengan cepat, dengan rata-rata waktu penyelesaian transaksi sedikit lebih dari enam bulan, dibandingkan dengan rata-rata industri yang mencapai satu tahun.

Saat itu, Sagami berusia awal dua puluhan dan terus bekerja di perusahaan tersebut serta membantu dalam melakukan akuisisi lebih lanjut. Selama bekerja di sana, ia melihat adanya ketidakefisienan dalam proses pembuatan kesepakatan.

Baca Juga:   Jepang Bagi-bagi Rumah Secara Gratis: Mengungkap Fakta Menarik di Balik Program Ini!

Tak hanya itu, Sagami sendiri juga menyaksikan bisnis kakeknya terpaksa ditutup karena tidak ada penerus yang dapat menjalankannya.

Berbekal pengalaman tersebut, Sagami akhirnya mendirikan M&A Research Institute untuk membantu melestarikan perusahaan kecil dan menengah (UKM) di Jepang. Apalagi, lebih dari 99 persen dari semua perusahaan di Jepang adalah UKM, di mana sekitar dua pertiga di antaranya tidak memiliki penerus.

Mengutip Forbes, perusahaan Sagami telah mahir dalam menyelesaikan transaksi dengan cepat, dengan rata-rata waktu penyelesaian transaksi sedikit lebih dari enam bulan, dibandingkan dengan rata-rata industri yang mencapai satu tahun.

Loading