Sudah sejak lama Tanah Malaya di seberang Selat Malaka menjadi rantau tradisional bagi kaum Minangkabau. Menyusuri sungai-sungai besar di rantau timur : Rokan, Siak, Kampar, Indragiri, dan Batanghari, mereka mengembangkan koloni dagang di pesisir timur Sumatera terus ke pantai barat Semenanjung Malaya. Dalam bukunya yang berjudul Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784 – 1830, Christine Dobbin mencatat bahwa perpindahan orang-orang Minang ke Tanah Malaya telah berlangsung sejak abad ke-15.
Kedatangan mereka pada mulanya untuk mencari bongkahan emas dan menjual senjata hasil olah tangan para perajin Luhak nan Tigo (dataran tinggi Minangkabau). Hal ini berlangsung selama masa kejayaan Kesultanan Malaka hingga tahun 1511. Setelah Portugis menguasai Malaka, perdagangan emas Minangkabau masih terus berlanjut, meski jumlahnya sudah mulai menurun. Saudagar-saudagar Minangkabau-pun yang sebelumnya banyak berkumpul di sekitar istana sultan, satu per-satu mulai hengkang meninggalkan Malaka. Sebagian mereka pindah ke kawasaan Johor, dan sebagian lagi menyebar ke pulau-pulau lain di Nusantara.
Selain Dobbin, yang juga menarik untuk disimak adalah karya sejarawan Cornell University, Leonard Andaya. Dalam buku yang berjudul Leaves of the Same Tree : Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, ia menulis bahwa pada tahun 1600 di Johor telah banyak saudagar Minang yang berdagang emas. Seperti halnya di belahan lain Nusantara, para pengusaha Minang tak hanya fokus pada urusan bisnis semata.
Mereka juga terlibat dalam kegiatan sosial, keagamaan, dan politik tempatan. Di Johor setelah kematian Sultan Mahmud Shah II (tahun 1699), banyak pedagang Minang yang terjun ke dunia politik dan ikut dalam perebutan kekuasaan.
Melalui Raja Kecil yang diutus oleh Pagaruyung, para pedagang Minang berhasil menguasai Kesultanan Johor (1718-1723), sebelum akhirnya dikudeta oleh Raja Sulaiman beserta pasukan Bugis. Kalah dalam pertarungan, Raja Kecil mundur ke daratan Riau dan mendirikan Kesultanan Siak. Sedangkan di Semenanjung, para pedagang Minang makin terjepit dan hanya mampu menguasai negeri-negeri yang kini tergabung dalam konfederasi Negeri Sembilan.
Setelah Inggris masuk ke Semenanjung di awal abad ke-19, ramai pedagang Minang yang membuka pertambangan timah di Selangor. Mohamed Taib bin Haji Abdul Samad, pengusaha kelahiran Batusangkar, Sumatera Barat, adalah salah satu saudagar yang memiliki pertambangan cukup besar. Taib pergi merantau ke Kuala Lumpur pada tahun 1876 saat berusia 18 tahun. Semula ia berdagang perhiasan. Kemudian bersama saudaranya Abbas bin Haji Abdul Samad, ia mengusahakan pertambangan timah di Hulu Langat. Taib juga memiliki lahan perkebunan yang cukup luas, toko, dan rumah besar di Kuala Lumpur. Untuk menampung para pedagang Minang yang berniaga di kota itu, ia membuka kawasan Kampung Baru. Kini kampung tersebut tak hanya dihuni oleh saudagar Minangkabau, namun juga pedagang dari Jawa, Bugis, dan Aceh.
Haji Mohamed Taib namanya diabadikan menjadi salah satu nama Jalan di Kuala Lumpur. Mengenai kiprah pedagang Minangkabau di Kuala Lumpur, William Roff mencatat bahwa hampir keseluruhan pedagang Melayu yang ditemui di kota itu pada dekade 1890-an berasal dari ranah Minang. Pada masa itu, banyak pedagang Minang yang berjualan di Batu Road (kini Jalan Tuanku Abdul Rahman), Jalan Pudu, Pasar Minggu, Melaka Street, Jalan Raja Bot, dan Malay Street. Sebagian besar mereka membuka kedai kelontong, usaha jahit, kedai songkok, toko buku, dan rumah makan.
Selain dikenal sebagai pengusaha ulung, pedagang Minang juga merupakan orang-orang alim yang memiliki pemahaman agama cukup baik. Warta Ahad edisi 27 Oktober 1935 mensenarai beberapa nama pedagang Minang yang tergolong sebagai ahli agama, diantaranya adalah Haji Abdus Samad, Haji Abdus Samad Panjang, Haji Abdus Samad Kecil, Haji Abdul Majid Panjang, Haji Rijan, Haji Abdul Wahab, Haji Muhammad Ali, Haji Zainal Abidin, Hajah Fatimah, Haji Aminuddin, Tahir Darwis, Baginda Kaya Haji Arsyad, Datuk Maharaja, dan yang paling populer Haji Utsman bin Abdullah.
Haji Utsman lahir di Batusangkar, Sumatera Barat tahun 1850. Dia adalah seorang sufi yang menuntut ilmu hingga ke Mekkah. Sekembalinya dari Tanah Arab, ia merantau ke Kuala Lumpur atas permintaan masyarakat Melayu setempat. Disana ia mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Beberapa muridnya yang kelak menjadi tokoh penting adalah Sultan Abdul Samad Selangor, Sultan Puasa, Haji Abdullah Hukum, dan Raja Mahmud. Disamping mengajar, Haji Utsman juga melakukan perniagaan. Pada masanya, ia salah seorang yang cukup kaya di Kuala Lumpur. Tanahnya mencakup antara pertemuan Sungai Klang dan Sungai Gombak (belakang Mesjid Jamek) hingga Pusat Dagangan Dunia Putra (PWTC) saat ini. Setelah sekian lama menjadi imam dan mubaligh, Haji Utsman diangkat menjadi kadi pertama Kuala Lumpur.
Memasuki abad ke-20, Khatib Koyan bin Abdullah merupakan salah seorang perantau Minang yang sukses di Kuala Lumpur. Usahanya adalah penambangan timah di tepian Sungai Gombak. Kekayaannya terbilang cukup besar. Ia memiliki sejumlah tanah dari Batu Dua hingga Batu Sembilan di kawasan Gombak. Khatib Koyan merupakan pemuka masyarakat yang cukup prihatin dengan perkembangan keagamaan di Kuala Lumpur. Oleh karenanya ia membangun sebuah mesjid di kawasan Setapak dengan nama Mesjid Jaminul Ehsan. Disamping itu juga beliau telah mendirikan sebuah Madrasah ar-Rahmaniah di Jalan Khatib Koyan, Kampung Baru, Kuala Lumpur. Bersebelahan dengan madrasah tersebut telah didirikan pula sebuah surau yang dinamakan surau Khatib Koyan.
Perantau Minangkabau lainnya yang sukses berniaga di Kuala Lumpur adalah Bagindo Samah. Beliau tiba di Kuala Lumpur pada tahun 1905, dan membuka pabrik sabun serta pertambangan timah di Ulu Yam. Setelah Bagindo Samah meninggal dunia, perniagaannya diteruskan oleh putranya Baharuddin atau Mohamad Bagindo Samah. Abdul Hamid bin Ibrahim, pengusaha Minang lainnya asal Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, memulai bisnisnya di Kuala Lumpur dengan membuka kedai kopi. Dari hasil kedai kopi tersebut ia membeli tanah seluas satu hektar di kawasan Batu Enam, Gombak. Tanah itu diusahakannya untuk menanam getah yang para pekerjanya juga merupakan orang-orang Minang.
Menjelang pecah Perang Dunia Kedua hingga lepasnya Semenanjung Malaya dari kolonial Inggris, mayoritas pengusaha Minang hanya menjadi pemain kecil dan menengah. Dimana-mana, baik itu di Kuala Lumpur, Seremban, Malaka, dan Johor Baru, hampir keseluruhan pedagang Minang menjadi pengecer dan berjualan kaki lima. Mereka kalah bersaing dengan pedagang-pedagang China dan India, serta orang-orang Inggris yang mendominasi perekonomian Malaya. Selain situasi politik yang tak menentu, sikap anti-kolonial dan ketertarikan orang Minang ke dunia pergerakan, menjadi faktor tak berkembangnya usaha mereka.
Salah seorang pengusaha Minang yang kemudian terlibat di dunia pergerakan adalah Othman Abdullah, cucu Mohamed Taib bin Haji Abdul Samad. Ketika belajar di Kairo, bersama Djanan Thaib, Iljas Jakub, dan Mahmud Yunus, ia mendirikan organisasi pelajar Nusantara : Djamiah al-Chairiah. Selain sebagai pendiri, ia juga menjadi penyandang dana organisasi tersebut. Setelah merantau ke Timur Tengah dan Eropa, Othman pulang ke Malaya meneruskan usaha keluarganya. Namun ia tak berminat dengan urusan bisnis dan lebih memilih dunia pergerakan.
Pada masa pergerakan, banyak pengusaha yang menjadi pejuang, dan tak sedikit pula pejuang yang menjadi pengusaha. Salah satunya adalah Ahmad Boestamam, pengusaha-pejuang asal Painan, Sumatera Barat yang mengelola beberapa media cetak. Diantara media kelolaannya adalah Suara Rakyat, Berita Perak, dan Pelita Malaya. Media-media ini terutama digunakannya sebagai corong organisasi Kesatuan Melayu Muda untuk menuntut kemerdekaan dari Britania Raya.
Setelah masa kemerdekaan, kedudukan para saudagar Minang di Malaya mulai membaik. Hal ini dipicu oleh penerapan politik Ketuanan Melayu pada dekade 1960-an. Kebijakan ini bertujuan untuk mengangkat ekonomi bangsa Melayu dan memberikan privilese kepada raja-raja Melayu sebagai penguasa tertinggi Malaysia. Dengan diterapkannya kebijakan ini, banyak pengusaha Minang yang diuntungkan. Mereka diberikan kemudahan lisensi dan kredit modal kerja. Kebanyakan dari pengusaha tersebut berasal dari keluarga Kerajaan Negeri Sembilan, atau yang memiliki kedekatan dengan penguasa. Beberapa nama yang cukup populer dan memiliki kekayaan cukup besar antara lain Tan Sri S.M. Nasimudin Amin, Tunku Tan Sri Abdullah, serta kakak-beradik Tunku Naquiyuddin dan Tunku Imran.
Nasimuddin Amin merupakan pengusaha otomotif, pemegang 40% saham mobil nasional : Proton. Dia merupakan pendiri sekaligus pemilik konglomerasi NAZA Group, yang meliputi bisnis otomotif, keuangan, properti, dan perkebunan. Pengusaha lainnya Abdullah, merupakan pemilik konglomerasi Melewar Group. Bisnisnya meliputi industri baja dan aneka turunannya. Dia juga memiliki perusahaan energi di Thailand : Siam Power Generation Company, Ltd. Dua orang kemenakannya Tunku Naquiyuddin dan Tunku Imran adalah pemilik konglomerasi Antah Holdings. Perusahaan ini bergerak di bidang properti, teknologi informasi, dan keuangan. Antah seperti juga halnya Melewar, diambil dari nama raja Minangkabau yang pernah memerintah Negeri Sembilan.
Satu lagi pengusaha keturunan Minang yang berhasil di awal milenium ini adalah Mokhzani Mahathir. Ia merupakan putra mantan perdana menteri Mahathir Mohamad. Darah Minang Mokhzani mengalir dari ibunya Siti Hasmah Mohamad Ali yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatera Barat. Mengelola perusahaan minyak Kencana Petroleoum, majalah Forbes menempatkannya sebagai orang terkaya ke-15 di Malaysia (tahun 2012), dengan total kekayaan mencapai USD 980 juta. Adiknya Mukhriz Mahathir yang kini menjabat sebagai menteri besar Kedah juga terjun di dunia bisnis. Namun tak seperti abangnya, Mukhriz lebih banyak terlibat di dunia politik. Ia hanya mengelola beberapa perusahaan investasi dan manufaktur, salah satunya Kosmo Technology Bhd.
Kamarudin Meranun juga disebut-sebut sebagai pengusaha Minang yang sukses di Malaysia. Bersama Tony Fernandez ia merupakan pemilik saham perusahaan Tune Group, induk usaha maskapai penerbangan Air Asia dan hotel bujet : Tune Hotel. Disamping mengelola bisnis penerbangan dan hotel, pria kelahiran Kampung Baru, Kuala Lumpur itu juga mengurusi klub sepak bola Queens Park Rangers dan konstruktur Formula One : Caterham. Sebelum terjun di dunia bisnis, Kamarudin memulai kariernya di Arab-Malaysia Merchant Bank sebagai pengelola portofolio. Pada tahun 1994 ia menjadi eksekutif direktur di Innosabah Capital Management Sdn. Bhd, sebelum akhirnya berpartner dengan Tony Fernandez. Dalam laporannya di tahun 2012, majalah Forbes mendudukkannya pada peringkat ke-19 orang terkaya di Malaysia, dengan kekayaan sebesar USD 560 juta.
Para pedagang Minang tak hanya berjaya di daratan utama Semenanjung Malaya, namun juga sukses di pulau-pulau lepas pantai. Banyak orang yang tak mengira, kalau Penang (Pulau Pinang) di sebelah barat Semenanjung adalah salah satu basis utama perdagangan kaum Minang di Selat Malaka. Pulau ini telah menjadi tempat berkumpulnya saudagar-saudagar Minang sejak paruh pertama abad ke-18. Adalah Datuk Jannaton, seorang pengusaha Minang asal Payakumbuh, Sumatera Barat, yang telah meneroka pulau ini di tahun 1742. Disamping berdagang, Datuk Jannaton juga membantu Sultan Muhammad Jiwa mengusir pasukan Aceh dan Bugis yang hendak menguasai kerajaannya. Atas jasanya itu, Jannaton diberikan konsesi oleh sultan untuk membuka kawasan Batu Uban di bagian timur Pulau Pinang. Seperti kebanyakan pedagang lintas selat lainnya, Datuk Jannaton adalah seorang peniaga hasil bumi yang membawa barang-barang dagangannya dari pantai timur Sumatera ke kota-kota pelabuhan di Semenanjung Malaya.
Faridah Abdul Rashid dalam bukunya Research on the Early Malay Doctors 1900-1957 Malaya and Singapore mencatat, bahwa selain Datuk Jannaton pengusaha Minang yang juga berperan penting dalam pembukaan Pulau Pinang adalah Muhammad Salleh atau yang lebih dikenal dengan Nakhoda Intan. Di Pulau Pinang, seperti juga halnya di Malaka dan Singapura, Salleh mendirikan surau. Disamping berfungsi sebagai tempat peribadatan, surau juga menjadi tempat anak-anak Melayu menuntut ilmu. Kini surau yang didirikannya pada tahun 1734 itu, telah berubah menjadi Mesjid Jamek Batu Uban. Selain Salleh, saudagar Minang lainnya yang mendirikan surau di Pulau Pinang adalah Ismail bin Tengku Patih Sebatang atau yang dikenal dengan Nakhoda Kecil. Jika Jannaton dan Salleh bertapak di Batu Uban, maka Nakhoda Kecil meneroka kawasan Jelutong. Dialah bersama 30 orang pengikutnya yang menyambut kedatangan kapten Francis Light, dan membantu orang-orang Inggris mendirikan benteng Fort Cornwallis.
Sebagai pedagang lintas selat, banyak diantara mereka yang memiliki kapal-kapal pengangkut. Pada tahun 1823, tak kurang dari 600 kapal saudagar Minang yang terlibat dalam perdagangan antara Penang dan Batu Bara (Sumatera Timur). Sebagian dari kapal-kapal tersebut ada yang membawa gambir langsung dari pedalaman Limapuluh Kota. Meski dari penjualan gambir marjin yang diperoleh sangatlah kecil, namun mereka diuntungkan oleh penjualan kain-kain India yang sangat diminati di pedalaman Sumatera. Perdagangan gambir ke Pulau Pinang terus berlangsung hingga pertengahan abad ke-19. Sebelum akhirnya kedudukan pulau ini digantikan oleh Tumasik (Singapura) di selatan Semenanjung.
Di abad ke-19 hingga awal abad ke-20, usaha orang-orang Minang di Pulau Pinang hanya terbatas pada usaha kelontong, perkebunan, toko buku, dan berkedai nasi. Kini kedai Nasi Padang banyak dijumpai di kawasan Bayan Lepas. Salah satunya ialah Restoran Padang Bukit Jambul yang dikelola oleh Ahmad Saad. Mengambil alih domain pengusaha Arab, pada dasawarsa 1920-an banyak saudagar Minang yang menjalankan bisnis percetakan. Sebagian besar mereka datang dari Pasaman, Sumatera Barat – mayoritas dari negeri Rao dan Talu. Orang-orang Pasaman, mulai membanjiri Tanah Malaya sejak berlangsungnya Perang Paderi. Salah seorang pengusaha Pasaman (Rao) yang ternama adalah Haji Yusof Rawa. Ia memiliki bisnis percetakan dan distribusi buku. Yusof melanjutkan usaha ayahnya Abdullah Nordin yang menjual buku dan perlengkapan ibadah. Selain berbisnis, Yusof juga menjadi politisi dan pernah memimpin Partai Islam Se-Malaysia (PAS). Satu lagi pengusaha percetakan dan penerbitan asal Rao yang cukup sukses di Malaysia adalah Hussamudin Yaacub. Bersama abangnya Fickri Yaacub dan sepupunya Muhammad Nasir Hamzah, ia mendirikan perusahaan Karangkraf Group. Seperti halnya Yusof Rawa, Hussamudin juga melanjutkan bisnis ayahnya yang berjualan buku. Kini perusahaannya telah menjelma menjadi perusahaan media cetak terbesar di Malaysia. Salah satu surat kabar miliknya Sinar Harian, merupakan koran berbahasa Melayu dengan oplah tertinggi di Malaysia.
Sejak dikembangkannya Singapura oleh Thomas Stamford Raffles, posisi Pulau Pinang sebagai entrepot utama di Selat Malaka mulai memudar. Raffles membeli pulau ini dari Sultan Hussein Shah, anggota keluarga Kesultanan Johor, pada tahun 1824. Ketika Raffles datang ke Singapura, ia telah menemukan banyak peniaga Minang yang mengusahakan pertambangan timah. Namun usaha timah di pulau ini tak cukup berkembang. Justru yang kemudian naik daun adalah perdagangan kopi, yang diusahakan langsung dari pedalaman Minangkabau. Pada tahun 1829, tercatat ada 100 perahu pialang Minangkabau yang menuju Singapura dengan muatan kopi seharga 2.000 dollar Spanyol. Dari hasil penjualan tersebut, mereka bisa membeli kain Inggris, kain India, sutra, kapas, dan komoditas lainnya untuk dijual kembali di dataran tinggi Minangkabau. Perdagangan kopi di Negeri-negeri selat (Strait Seetlement), baru berhenti setelah Belanda memonopoli perdagangan dan menginvasi pantai timur Sumatera.
Di masa revolusi, Singapura menjadi tempat pelarian para pejuang Minangkabau. Selain mencari perlindungan, disini mereka juga mengumpulkan dana dan senjata dari negara luar. Banyak saudagar dan profesional Minang di Singapura yang menjadi penyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kandur Sutan Rangkayo Basa yang memiliki toko barang-barang seni, malah menjadi anggota Partai Republik Indonesia (PARI) bentukan Tan Malaka. Partai ini menjadi salah satu motor pergerakan kemerdekaan Indonesia yang memiliki jaringan cukup luas. Selain Kandur, aktivis PARI yang juga berbisnis di Singapura adalah Djamaluddin Ibrahim. Untuk membiayai pergerakan partai, ia menjual barang-barang selundupan dengan membuka toko di Jalan Geylang. Djamaluddin adalah kakak Anwar Sutan Saidi, salah seorang konglomerat Minang yang cukup penting dalam perjuangan Indonesia. Tokoh lainnya adalah Gaus Mahyudin, yang memiliki apotek di Arab Street. Selain menjadi politisi Singapura, dia juga merupakan penyokong revolusi Indonesia.
Tak hanya di Indonesia dan Semenanjung, di Singapura banyak pula pedagang Minang yang berjualan Nasi Padang. Di Kampong Glam, ramai dijumpai rumah makan Padang yang hampir semuanya diusahakan oleh orang-orang Pariaman. Nasi Padang Hajah Maimunah, Sabar Menanti, dan Warong Nasi Pariaman, disebut-sebut sebagai restoran Minang yang cukup banyak peminatnya. Selain mereka, Junaidi bin Jaba pengusaha kelahiran Sijunjung, Sumatera Barat, juga merupakan pengusaha Minang yang sukses berbisnis kuliner di Singapura. Melanjutkan usahanya yang telah berkembang di Malaysia, Junaidi mendirikan rumah makan Sari Ratu di Pahang Street. Langkah ekspansi seperti ini juga dilakukan oleh H. Zulhefi, yang telah membuka tiga cabang restoran Garuda di Singapura.
Disamping menjual nasi dan makanan khas Minangkabau, di kota Singa banyak pula orang Minang yang berjualan kelontong dan pakaian jadi. Mereka terutama berdagang di Pasar Geylang Serai dan Arab Street. Selain berjualan, di kawasan Geylang banyak pula orang Minang yang berprofesi sebagai tukang jahit. Pada akhir abad ke-20, Singapura juga menjadi pangkalan bagi saudagar Minang yang melakukan usaha ekspor-impor. Salah seorang pengusaha yang berkantor pusat di kota ini adalah Datuk Hakim Thantawi, yang memiliki perusahaan tambang dan komoditi di bawah bendera Thaha Group.