Rumor tentang kejatuhan kelompok Hizbullah di Lebanon telah dibesar-besarkan oleh Israel dan konco setianya Amerika Serikat (AS). Pejuang Hizbullah tetap aktif di wilayah tersebut dan terus menimbulkan korban di pihak pasukan Israel serta tanpa henti memborbardir wilayah zionis itu dengan rudal.
Dalam sebuah opini untuk The Intercept, jurnalis yang berbasis di Beirut, Séamus Malekafzali, menyoroti kompleksitas invasi Israel yang sedang berlangsung di Lebanon. Media Israel menggambarkan operasi militer mereka sebagai sebuah keberhasilan besar. Sementara upaya humas besar-besaran memamerkan wilayah yang mereka rebut. Namun situasi di lapangan menceritakan kisah yang berbeda.
Malekafzali mencatat bahwa kemajuan Israel jarang melampaui kota-kota perbatasan. Pejuang Hizbullah tetap aktif di wilayah tersebut, terus menimbulkan korban di pihak pasukan Israel. Ia menyoroti serangan pesawat nirawak baru-baru ini oleh Hizbullah ke wilayah Israel, menewaskan tentara di pangkalan militer dekat Haifa, bersama dengan serangan rudal yang mencapai Tel Aviv.
Meskipun para pemimpin utama Hizbullah telah terbunuh, rumor tentang kejatuhan kelompok itu telah dibesar-besarkan, menurut Malekafzali. Selain itu, sementara Israel dan AS sudah membahas Lebanon pasca-Hizbullah, pemberontakan rakyat yang diklaim terhadap organisasi tersebut sebagian besar masih bersifat spekulatif.
Malekafzali mengkritik visi ini, dengan mencatat bahwa para pemimpin Israel sengaja merahasiakan rinciannya, sehingga harapan mereka akan pemberontakan sipil terhadap Hizbullah lebih merupakan tujuan retoris daripada rencana nyata.
Tulisan Malekafzali yang juga dimuat di Al Mayadeen juga menyoroti usulan Yair Lapid, mantan Perdana Menteri Israel dan pemimpin oposisi saat ini, untuk membentuk kembali Lebanon setelah invasi Israel. Meskipun Lapid memiliki perbedaan politik dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, rencananya untuk Lebanon sangat mencerminkan rencana Netanyahu.
Ini termasuk seruan kontroversial untuk membangun kembali Tentara Lebanon Selatan—pasukan proksi yang didukung Israel hingga tahun 2000. Lapid menyarankan perekrutan tentara Lebanon dengan gaji lebih tinggi, yang dilatih oleh perwira Prancis, Emirat, dan Amerika, daripada orang Israel.
Yang lebih mencolok, Lapid menganjurkan pembubaran pemerintah Lebanon dan menempatkan negara itu di bawah mandat internasional. Setelah itu pemilihan umum baru akan diadakan untuk membentuk pemerintahan yang mengecualikan Hizbullah.
Malekafzali menyoroti absurditas dan orientalisme yang melekat pada gagasan ini, dengan mencatat bahwa Hizbullah bukan hanya entitas militer yang kuat tetapi juga kekuatan politik dengan dukungan rakyat yang signifikan, khususnya di Beirut selatan dan beberapa bagian Lebanon selatan.
Gerakan tersebut, meskipun tidak memegang mayoritas di parlemen Lebanon, memperoleh suara terbanyak dari semua partai tunggal dalam pemilihan terakhir. Hizbullah juga dipandang warga Lebanon sebagai pembela utama terhadap agresi Israel, yang dianggap membantu mengusir pasukan Israel pada 2000 dan membangun kembali daerah-daerah yang hancur selama perang tahun 2006.
Menurut Malekafzali, meski oposisi terhadap Hizbullah ada di Lebanon, gerakan tersebut tetap menjadi bagian integral masyarakat Lebanon, dan setiap upaya untuk menyingkirkannya sepenuhnya merupakan kesalahpahaman terhadap makna mendalamnya.
AS Manfaatkan Peluang
Malekafzali menyoroti bagaimana Amerika Serikat tampak tidak terganggu oleh rencana Israel yang terlalu agresif di Lebanon. AS telah menahan diri untuk tidak mengadvokasi gencatan senjata, melihat perang yang sedang berlangsung sebagai kesempatan untuk melemahkan pengaruh Hizbullah.
Sebagai bagian dari strategi ini, Washington dilaporkan tengah mendorong pemilihan presiden Lebanon yang baru sambil berasumsi bahwa fokus Hizbullah teralihkan. Utusan AS Amos Hochstein secara tidak sengaja mengisyaratkan agenda ini selama wawancara dengan LBC, dengan menyatakan, “Sampai kita memilih — setelah Lebanon memilih seorang presiden.”
Dalam pandangan Malekafzali, Amerika Serikat sedang menyusun visi Lebanon yang ideal, dengan melibatkan para pemimpinnya dan melakukan diplomasi sambil mempromosikan gagasan tentang masa depan di mana rakyatnya “dapat memilih perwakilan mereka sendiri.”
Retorika ini, menurut penulis, mencerminkan pernyataan George W. Bush tentang Irak di bawah Saddam Hussein. Namun, terlepas dari pembicaraan tentang pilihan demokratis ini, hanya ada sedikit bukti bahwa mayoritas warga Lebanon akan memilih wakil yang sejalan dengan persetujuan AS dan Israel.
Juru bicara militer Israel Daniel Hagari baru-baru ini mengklaim bahwa setiap rumah di desa Lebanon selatan merupakan bagian dari infrastruktur Hizbullah. Rekaman video menunjukkan pasukan Israel menghancurkan seluruh desa dengan bahan peledak yang ditanam.