Dosen Kelompok Keahlian Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB Ayu Purwarianti mengungkapkan tiga risiko dalam menggunakan platform kecerdasan buatan ChatGPT.
Chatbot milik OpenAI itu belakangan jadi pusat pembicaraan terkait AI, salah satunya, karena dapat merangkai kata layaknya buatan manusia.
Ayu menjelaskan salah satu teknik dalam Artificial Intelligence (AI) adalah machine learning yang isinya merupakan data untuk diolah dalam mesin algoritma sehingga bisa mempelajari pola.
“Data itu yang nantinya kita masukkan ke dalam algoritma machine learning dan menghasilkan sebuah model Artificial Intelligence karena machine learning itu nantinya akan mempelajari pola yang ada di dalam data,” kaya Ayu seperti dikutip situs resmi ITB.
Ia menjelaskan data tersebut juga memiliki jenis yang bermacam-macam, pembagiannya dapat berupa data supervised (terpantau) dan data unsupervised (tak terpantau).
Menurut Ayu, data supervised harus diberikan penambahan label data secara manual. Sebagai contoh, data pada media sosial nantinya akan secara manual diberikan label positif, negatif meupun netral oleh seorang data annotator (pemberi catatan).
“Jadi ChatGPT itu mengumpulkan semua data dokumen yang ada di Internet, termasuk source code, yang kemudian digabungkan tanpa diberikan label. Semua data ini dimasukkan ke dalam algoritma deep learning yang disebut GPT,” kata dia.
Meski ChatGPT sudah mengubah cara manusia berinteraksi dengan mesin dan pencarian informasi, ada beberapa risiko yang harus dipertimbangkan.
Berikut beberapa risiko penggunaan ChatGPT, terutama dalam bidang akademik:
Informasi tidak akurat
Risiko pertama, kata Ayu, yakni tidak akuratnya informasi dan jawaban yang diberikan oleh ChatGPT. Dengan begitu, pengguna diharapkan melakukan validasi atau sumber lain yang lebih terpercaya.
Terlebih, jika mahasiswa diminta untuk membuat tugas esai dengan tujuan memaparkan analisis yang tinggi dan kritis.
Ia menyara kan untuk tidak menggunakan ChatGPT dan membuat kalimat esai sendiri.
Plagiarisme
Hal yang tak kalah berisiko yaitu plagiarisme atau menjiplak. Itu karena ChatGPT tidak memberikan sumber yang jelas saat memberikan jawaban.
Sehingga untuk beberapa kasus, kata Ayu, berisiko terjadinya penjiplakan karya. Akibatnya bisa tersandung masalah hak cipta.
“Seperti pembuatan buku dan copywriting, jangan memberikan ChatGPT untuk melakukan take over karena tetap tanggung jawab terakhir ada pada manusia,” kata Ayu.
Penyalahgunaan
Ayu menjelaskan penggunaan ChatGPT juga berisiko menimbulkan potential misuse atau penyalahgunaan. Itu karena ChatGPT bisa menghasilkan jawaban untuk membuat kode program seperti jailbreak atau sesuatu yang memang untuk menelusuri security.
Potential misuse adalah penelitian yang melibatkan atau menghasilkan bahan, metode, teknologi atau pengetahuan yang dapat disalahgunakan untuk tujuan yang tidak etis.
Terlepas semua risiko itu, Ayu mengakui sangat sulit juga untuk menahan pengembangan ChatGPT. karena saat ini malah banyak orang yang berlomba-lomba dalam mengembangkan platform seperti ChatGPT dengan harga yang lebih rendah.